Bahkan hasilnya akan jelas sangat kontras. Sha
lat di lima waktu, lisan
yang harus terus berdzikir, zakat yang diwajibkan kepada sesiapa yang memiliki
kelebihan, haji yang harus merogoh kocek dan penantian yang lama, serta jihad
yang mengharuskannya memberikan seluruh jiwa-raga juga berpulang hanya tinggal
nama. Pun lagi syariat yang mengatur segala urusan dari yang terkecil; buang
air, hingga urusan perpolitikan dalam dan luar negri. Dari hal yang paling hina
mengambil sampah, hingga hal semulia pernikahan. Semua itu terlihat seperti
beban, menyulitkan, mengekang kebebasan dan memberatkan hati.
Itu bagi orang awwam, orang non muslim, orang yang belum paham akan
hakikat Islam.
Bagi mereka yang sudah paham, semua taklif (beban) itu adalah rahmat,
cinta, dan kasih sayang. Bagi seorang yang sedang dimabuk cinta hal tersulit
dalam kehidupannya pun akan dilakukannya dengan penuh rasa Bahagia, menikmati
setiap detik kebersamaannya dan menganggap semua beban adalah bukti cinta kasih
atasnya.
Agama islam adalah agama kasih sayang, cinta, perjuangan dan
pengorbanan.
Begitu juga dengan konsep pesantren. Yang tidak mengetahui akan hakikat
asalnya, pasti hanya bisa mencibir dan menjelek serta memandanganya dengan
sebelah mata. Jangankan orang yang awam, bahkan terkadang guru dan pengurusnya
pun sering luput darinya.
Pesantren adalah representasi dari islam. Walaupun memang masih banyak
yang perlu diperbaiki, tapi pesantren adalah Lembaga yang masih sampai saat ini
menjadi lumbung stok keikhlasan umat ini. Entah di luar sana apakah kata ini
masih benar benar ada atau memang sudah lenyap sejak lama. Terkhusus di Indonesia.
Betapa tidak, apa yang mereka dapatkan tak sebanding dengan seluruh
jerih yang mereka kerahkan. Waktu mereka habis dalam perjuangan, tenaga mereka
terkuras dalam kebaktian. Semuanya demi pesantren yang membawa nama Islam.
Gaji sedikit, fasilitas terbatas, waktu liburan minim, dll. Tapi itu
merupakan pilihan mereka. Ya, mereka yang benar benar ingin berjuang untuknya.
Maka jargon “keikhlasan” sungguh tak pantas diucapkan oleh mereka yang
tak pernah berpeluh di dalamnya, orang yang ada diluarnya ataupun mereka yang
tak pernah bervisi sama.
Tapi terkadang kita salah mengartikan, Ketika sang kiyai yang mengucap,
petinggi yang berkata, itu semata mata sebagai Langkah penanaman nilai dan Pendidikan
bagi penerus amal ikhlas ini. Kewajiban pemimpin jelas memberikan kesejahteraan
terbaik bagi masyarakatnya. Kewajiban warganya adalah berjuang semaksimal dan
setotal ikhlas mungkin. tapi tidak serta merta ketika kita melihat pimpinan mengucap
“keikhlasan” serentak su’udzan yang merebak.
Lihat, apakah benar ia mengeksploitasi sedangkan ia hidup dengan memakan
nasi dan terasi? Apakah benar ia hanya mengambil keuntungan sendangkan semua
hartanya habis untuk perjuangan? Apakah benar ia sekedar memanfaatkan sedangkan justru keluarga,
kehidupannya sendiri menjadi taruhan?
Bagi mereka yang mengedepankan teori, analisis, keegoan pribadi dan
menafikan faktor ilahi tak akan bisa memahami semua ini.
Yah, mungkin memang bukan disini tempatnya. Ini adalah tempat mereka
yang memiliki ruh berjuang. Ketika satu ini tidak ada, tak akan ada keikhlasan,
totalitas, dedikasi, keinginan untuk terus berkembang dan semuanya akan
berbalik menjadi keluahan.
Saya sendiri masih belajar dari keikhlasan mereka, para pejuang yang
mungkin minim ilmu tapi rasa afiliasi akan keislamannya menggebu, para kiyai
yang sumber keikhlasan mereka sungguh luar biasa bak wali, dan para santri yang
telah mededikasikan seluruh diri untuk kemajuan pesantren.
Oleh karena itu Ketika kehormatan islam dihina, pesantren dilecehkan dan
terancam, seakan eksistensi mereka pun ternodai.
Sudah tak usah kita banyak membual sana-sini, sungguh tak pantas kata
ini melampaui mereka yang telah beranjak dengan bukti, beramal dengan memberikan
seluruh kontribusi sedangkan kita masih saja duduk tanpa aksi tanpa ikhlas
dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar